Rabu, 17 Agustus 2016

Emansipasi Buku



Di mana tempatnya buku? di perpustakaan tentunya. Di rak-rak yang jarang terjamah manusia. Tempat yang sepertinya hanya dihuni oleh makhluk-makhluk cupu berkacamata. Ketika minat baca masyarakat Indonesia masih rendah, maka jumlah pengunjung di perpustakaan pun tetap rendah. Dan buku-buku itu semakin tak terjamah. Umumnya yang datang ke perpustakaan adalah orang yang sudah minat dan memang ingin membaca. Lalu bagaimana dengan masyarakat lainnya? Apa mereka akan dibiarkan dalam ketidakcintaan-membacanya? atau justru seharusnya mereka yang kita ajak untuk mengenal dan membiasakan cinta membaca.

Berbagai cara sudah dilakukan untuk menarik minat baca masyarakat. mulai dari membenahi gedung perpustakaan menjadi ruangan yang nyaman, membuat perpustakaan keliling dengan mobil bahkan kuda, dan yang lainnya. Menurut saya, sebagus apapun dan senyaman apapun perpustakaan, namun yang datang adalah yang sudah mengenal buku dan mempunyai waktu luang untuk pergi kesana. Walaupun mungkin memang terdapat peningkatan kunjungan, namun itu tidaklah seberapa. Pamor perpustakaan sebagai tempat refreshing masih kalah saing dengan tempat tongkrongan yang lain. Cara kedua tampaknya cukup efektif. logikanya, ketika tidak ada juga yang datang melamarmu maka sudah saatnya kau harus keluar dan mencari cinta sejatimu. Kau tidak harus selalu tidur di rak buku sampai ada yang membangunkanmu. Inilah saatnya emansipasi buku. buku yang lebih mendekat dan bergerilya mencari pembacanya. Buku yang membuat manusia jadi mencintainya.

Mungkin ide yang agak gila adalah menyediakan buku di tempat-tempat umum seperti di angkringan, cafe, restoran, terminal, stasiun, bandara, halte, taman kota, alun-alun, kereta api, bus, dan tempat umum lainyya. Mengapa aku sebut ide ini agak gila? karena di bayangan saya ketika buku-buku ini tersebar tanpa penjagaan mungkin banyak yang hilang. Walaupun sebenarnya tak apa jika hilang untuk dibaca. Yang aku khawatirkan adalah hilang untuk diloakkan dengan harga tak seberapa. wkwkwk.

Tentunya dibutuhkan suatu sistem yang mengatur bagaimana buku dapat menjamah setiap lapisan masyarakat. Baik yang sudah cinta buku maupun yang belum. Yang bisa membeli buku maupun yang belum. Yang punya waktu untuk membaca atau belum. Dan dibutuhkan peran serta seluruh masyarakat untuk menjalankan program ini. Ketika kita sadar membaca itu penting untuk membangun suatu peradaban, maka kita akan bahu membahu menyadarkan diri dan yang lainnya untuk mau membuka hati untuk buku. Terlepas dari besarnya godaan  dan daya tarik gadget dan sosial media. Buku konvensional masih tetap unggul dalam beberapa hal dibanding media elektronik. Inilah yang menjadi PR kita bersama.

Lintang Ayu Saputri
Jurusan Ilmu Administrasi Negara Unsoed
Divisi Perbukuan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar